Selasa, November 15, 2005

Hari ini bukan sebuah akhir, namun awal .


Tak terasa hari-hari yang dilaluinya begitu cepat. Memang dari hari-harinya hanya kegiatan yang itu itu aja yang harus dilakukan. Hanya sedikit yang spesial bahkan tak ada. Kali ini pikirannya tercengang kearah meja dan pasangannya, kursi dengan paku yang menyerongot di pojokan kamarnya itu. Ia merasa harus mau menulis kembali sedikit goresan yang sebenarnya harus terisi banyak untuk hari ini, esok, bahkan untuk hari-hari sebelumnya yang terlupakan. Malam itu, sebelum pikirannya tercengan pada meja itu, ia mencoba berjanji untuk bisa memberikan arti pada hari-harinya. Dari renungannya itu ia melayang dan menghinggapkan pikirannya pada meja dan kursi itu. Dan mulailah ia buka lembar demi lembar buku kecil itu. Ia mencoba memperhatikan baris dan goresan-goresan yang pernah ia tuangkan. Matanya berbolak-balik melihat betapa tak adanya sebuah makna dari tiap lembar-lembar tulisannya. Hingga pembuluh darah dimatanya penuh dengan isi, dan merah meronah terlihat dalam sorotnya. Tak tau mengapa entah penyakit atau bukan , tapi bisa jadi sebuah imbalan dari segala yang digoreskannya. Namun meski matanya merah ataupun lembar bukunya yang kosong , kali ini ia tidak mempedulikannya. Tinta dari pencilcase yang sudah kehilangan tutup itu ia ambil. Tintanya memang sudah tinggal beberapa gores, namun ia yakin masih dapat membekas dan mencoba merubah jalan hidupnya. Dirinya hanya membolak-balikan tinta, hingga suatu detik dilihatnya sekerumunan setan-setan dan pemimpinnya sedang berdiskusi bersama. Ia hanya tecengan melihat hal itu. Sang pemimpin setan berkata pada anak-anak buahnya " hey anak buahku bagaimana hasil kalian selama ini mengajak pemilik kamar ini untuk tidak mengisi buku kecilnya". Mereka hanya berdengung dan saling berdengung satu sama lain. Mendengar diskusi awal dari sang setan ia kembali tercengan, telinga dan matanya kembali difokuskan pada diskusi yang memang adil, dan tak seadil diskusi yang sering ia lakukan sendiri dari lubuk hatinya. "Tapi pak komandan aku telah mengajaknya untuk melakukan hal itu , bukankah pak komandan bisa lihat sendiri ia tidak mengisi buku kecilny..haha..hah" Dengan tawannya yang begitu keras itu ia memberikan sedikit komentar kepada pak komandan sang pemimpin setan. " Lalu apa yang kamu bawa itu anak buah ku.. apa..? kenapa kamu bersama keluargamu yang bersepuluh itu begitu sibuk.." . Dengan sedikit senyuman sang setan berkata " oo itu buku kecil , aku dan keluargaku biasa menulis buku kecil itu untuk sebuah makna kehidupan, tapi pak komandan bukan kah pak komandan juga selalu mengisi buku kecil itu pula". " ya memang melihat kenyataan saat aku mengajak manusia pada jalan sesat aku berubah pikiran, aku ingin memberikan makna pada hidupku", komandan berkata pada anak buahnya.
Melihat diskusi itu, Ia merasa tercengang dan terpukul, malunya tak bisa tertahan lagi hingga butiran air dari pojok matanya tak lagi kuat dipukulnya. Dirinya malu dengan sang setan. setan yang selama ini membuat dirinya lupa segalanya. Ternyata mereka lebih baik dari dirinya. Mereka lebih adil, tak seperti dirinya yang selalu menimbang berat sebelah dan tak mempedulikan esok bahkan hari-harinya yang telah lewat yang sebenarnya dapat menjadi sebuah pelajaran berharga bagi dirinya. Tak hanya itu ia malu dengan sang setan yang begitu rajinnya menulis baris demi baris makna kehidupannya. Tak seperti dirinnya yang hanya melihat tanpa makna. Ia kembali tercengang , siapakah sebenarnya dirinya itu. " Apa aku salah memanggil setan bagi beberapa kerumunan orang yang berdiskusi, ataukah mereka menganggap aku setan" kata kata itu muncul dalam dirinya. Seiring dengan itu ia mencoba berubah , ditulisnya kalimat yang penuh makna dibuku kecilnya " Aku akan berjuang dengan adil" .
Dari tulisan itu pun sepintas ia kemabali berpikir tentang menik, "apakah aku sudah adil dengan menik". Dibukannya kain di jendelannya yang biasa ia gunakan untuk melihat langit. Dilihatanya menik sedikit tersenyum padanya dibawah pohon yang selalu menjatuhkan daunnya. Ia hanya mencoba tersenyum pula meski berat ditariknya otot-otot dipipinya.Dan entak kenapa menik masih menjadi sesuatu yang mengganjal didirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan coment disini!! Isikan nama anda dengan klik colom pada "beri komentar sebagai" Isikan pula URL/alamat blog anda